Laman

Sabtu, 17 Mei 2014

Surat "kaleng" & SMS "gelap", sama saja

Surat kaleng dan SMS gelap merupakan dua varian yang sama, wajah surat dan tangan pengetik SMS tersembunyi di balik topeng yang rapat dan pengap. Sebuah dorongan membentur dinding menciptakan berbagai tanda tanya. Pengirim surat atau pesan sejatinya ingin bersuara, namun keadaan membuatnya terpaksa, berlindung di balik topeng rahasia, dengan suatu alasan yang telah diperhitungkannya demi sebuah keuntungan yang dicita-citakannya.

Surat kaleng dan SMS gelap, sejenis pesan bertameng tedeng. Dari penulis untuk pembaca, dari pengirim untuk penerima. Sebagai sebuah “warning”, laporan, pengaduan, uneg-uneg, ngudo roso, ancaman, isi hati, pelampiasan emosi, penebar kebencian, strategi “adu kambing” yang sama saja dengan adu domba, atau bisa juga ungkapan cinta tak tertahan yang sakit seperti gambaran orang nahan “kentut”. Surat kaleng dan SMS gelap menyimpan seribu misteri, maksud terselubung dan tersembunyi yang hanya diketahui oleh pengirim atau penulis dengan Tuhan yang Maha Melihat dan Maha Tau.

Pengirim pesan hendak melindungi diri dibalik topeng atau sekedar mencatut orang lain, dimana kadang memang ada hak untuk rahasia–misteri. Identitas, privasi dan jati diri, entah demi keselamatan jiwa,  keamanan keluarga, jaga  gengsi, atau memang tiada nyali bak pecundang atau penghianat di medan perang, biasanya tak lebih dari menebar teror, menyulut keresahan dan mengumbar fitnah keji demi hasrat yang menguntungkan pribadi dan memuaskan nafsu “syaitoniah”.

Seiring perjalanan waktu, si lemah kian terhimpit dan terjepit tak berdaya, si kuat kian tegap dan perkasa menindas dengan beringas tanpa peduli. Jarak antara si lemah dengan si kuat kian tajam, sportivitas semakin amblas, semangat untuk fairplay semakin lemah gemuali, para pecundang semakin meradang. Berbicara dengan penguasa bagaikan berbicara dengan tembok raksasa sehingga sulit diajak bicara. Suara membentur tembok tanpa ada solusi yang disebut jalan keluar yang fair, mau bagaimana lagi? Surat kaleng dan SMS gelap akhirnya menjadi jalan alternative atas kebuntuan yang penuh sesak hiruk-pikuk dan hingar-bingar.

Surat kaleng dan SMS gelap membuka fakta, retaknya bangunan persaudaraan, terkungkungnya asas kebebasan, tersumbatnya keterbukaan, terusiknya rasa keadilan, melemahnya jiwa kesatria, komunitas menjadi eksklusif, kedewasaan ter-abrasi menjadi sikap yang intoleransi.

Seperti apapun alasan dan motifnya, surat kaleng dan SMS gelap mengirim pesan nyata, kondisi telah macet komunikasi antar manusia yang seharusnya saling terbuka untuk mencari solusi bersama. Jangan gara-gara surat kaleng dan SMS gelap memecah belah rasa persaudaraan, menebar fitnah dan angkara murka selanjutnya.

Jumat, 16 Mei 2014

Bullying dan Cara Mencegahnya

Permasalahan tindak kekerasan di sekolah akhir-akhir ini masih banyak  terjadi baik dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Berdasarkan data laporan kasus yang masuk ke Komnas Perlindungan Anak per November 2009 setidaknya terdapat 98 kasus kekerasan fisik, 108 kekerasan seksual dan 176 kekerasan psikis terhadap anak yang terjadi di lingkungan sekolah yang dilakukan oleh sesama murid maupun oleh guru mereka (Sedayu, 2009). Awal bulan April 2010 media memberitakan kasus kekerasan yang terjadi di SMA Negeri 70 Bulungan Jakarta, yaitu kasus yang menimpa salah seorang siswi yang duduk dikelas satu yang mendapatkan perlakuan kekerasan berupa intimidasi, dihardik, ditampar, dicubit dan ditendang  perutnya oleh seniornya yang duduk dikelas tiga hanya karena pesoalaan sepele yaitu korban tidak memakai kaos dalam meski korban sudah berusaha menjelaskan kepada seniornya, memang ada peraturan tidak tertulis yang ditetapkan oleh senior  saat juniornya menjalani Masa Orientasi Sekolah (MOS) dan barlaku sampai kelas dua, diantaranya rambut tidak boleh di gerai, baju dan rok harus longgar, tas harus ransel dan sepatu harus berjenis kets, dan memakai kaos dalam agar bra yang dipakai tidak kelihatan. Dari kejadian tersebut korban ketakutan untuk datang sekolah dan kasus tersebut akhirnya dilaporkan ke pihak kepolisian.(Amelia, 2010)

Kekerasan fisik dan psikis yang terjadi di lingkungan sekolah baik yang dilakukan oleh guru kepada muridnya atau  antara murid dengan murid yang lain yang dikenal dengan istilah bullying. Bullying merupakan permasalahan yang dialami oleh banyak siswa pada semua tingkat pendidikan, dimana prilaku tersebut memberikan dampak negatif terhadap individu yang menjadi objek bullying baik berupa kesehatan dan keamannya, fakta ini didapat dari lingkungan sekolah (Blosnich & Kershner, 2009). Khususnya diantara korban dan pelaku bullying berhubungan dengan indikasi kurangnya penyesuaian psikososial, seperti simptom depresif, dan prilaku bolos sekolah. Dari perspektif pencegahan, program intervensi dan pembelajaran mengenai prilaku menghormati seharusnya di mulai dari ketika murid masih kecil (Blosnich & Kershner, 2009). Sehingga dalam penulisan esai ini, thesis statement-nya adalah bahwa untuk dapat mengurangi dan mencegah prilaku bullying yang terjadi di sekolah dapat dilakukan upaya pembelajaran tentang prosocial behavior yang diperuntukan untuk siswa sejak dini.

Menurut Harris & Petrie (2002)  dalam Long & Alexander (2010) mendefiniskan bullying sebagai tindakan bermusuhan, terjadi berulang dilain waktu, merusak dengan bebas dan terjadi tanpa provokasi. Sedangkan menurut  Olweus  (1994) dalam Semin & Fiedler (1996) orang yang melakukan bullying adalah orang yang mengarahkan dan mengulangi tindakannya yang memberikan dampak negatif  bagi satu orang atau  terhadap orang-orang yang lain. Banyak definisi yang berbeda tentang bullying, bagaimanapun komponen utamanya adalah perilaku kekerasan sebagai salah satu bentuk perilaku agresi (Long & Alexander, 2010). Agresi adalah prilaku yang diarahkan dengan sengaja yang bertujuan untuk merugikan  orang lain (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008). 

Selanjutnya menurut  Olwes  (1994) dalam Semin & Fiedler  (1996) menjelaskan  menjelaskan tipe atau kerakteristik korban dan pelaku bullying. Karakteristik korban bullying  adalah terlihat cemas, menarik diri dari lingkungan sosialnya, mengisolasi diri dari peer groupnya dan secara fisik lebih lemah dari teman-teman yang lainnya. Sedangkan pelaku memiliki karakteristik yang yang berlawanan dengan korban yaitu memiliki fisik yang kuat, dominan dan asertif, menunjukan prilaku agresif tidak hanya kepada korbanya saja akan tetapi juga kepada orang tua, guru dan orang dewasa lainnya. Temuan ini mendukung bahwa bullying adalah bagian dari bentuk umum  prilaku anti social yang berasosiasi dengan kemungkinan meningkatnya prilaku orang-orang yang akan menyimpang pada masa remaja dan masa dewasanya. Penyebabnya adalah orang tua yang membiarkan terhadap prilaku agresif yang dilakukan oleh anak-anaknya dan juga menggunakan cara-cara agresif dalam memperlakukan anak-anaknya disini ditemukan berperan krusial dalam menghasilkan bentuk-bentuk prilaku anti sosial pada anak-anak mereka. Kondisi yang seharusnya ada adalah murid-murid memerlukan perasaan yang aman dari rasa takut, ketakutan yang melanda pada anak-anak hanya akan menjadikan rendahnya konsep diri dan mengarah pada penurunan motivasi untuk belajar di sekolah. Di sekolah-sekolah memperlihatkan murid-murid yang menghindari datang ke kelas karena merasa  diintimidasi dan hadirnya perasaan takut sebagai korban bullying (Long & Alexander, 2010)

Bullying sebagai salah satu bentuk prilaku agresif pembentukanya dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang antara lain 1) Faktor Biologis yang menerangkan bahwa agresi adalah sesuatu yang alamiah dan diwariskan, tinjauan ini didasarkan pada teori Sigmund Freud yang menyataka pada diri manusia memiliki insting kematian yang bersifat merusak (thanathos), kelemahan teori ini adalah tidak dapat menerangkan agresi dalam cakupan yang luas. 2), Teori Drive yang menerangkan bahwa agresi berasal dari kondisi eksternal yang merangsang individu untuk menyakiti individu lain dengan hipotesisnya frustasi menyebabkan agresi, teori tersebut juga mendapatkan kritik karena agresi tidak hanya disebabkan oleh kondisi dan faktor eksternal saja. 3) Teori Agresi Modern yaitu Perspektif Social Learning Theory dan General Agresion Model yang menjelaskan model pembentukan prilaku agresif lebih komplek (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008).

Dengan memperhatikan proses terbentuknya prilaku agresif diatas maka  penulis memiliki kecenderungan bahwa pembentukan prilaku agresif adalah melalui proses belajar sosial (social learning theory)  yang diperoleh dari lingkunganya. Inti dari teori ini adalah bahwa prilaku agresi merupakan reaksi terhadap peristiwa atau stimulus yang terjadi pada lingkungan (Sarwono, 2002).  Menurut Patterson, Littman & Bricker (1967) dalam Sarwono (2002)  Social learning theory  memberikan focus perhatiannya pada faktor-faktor pengaruh dari luar dirinya, hasil temuan dalam penelitian  menemukan bahwa pada anak-anak kecil yang diperlakukan agresif akan membuahkan hasil berupa peningkatan prilaku agresifitas itu sendiri dimasa besarnya. Agresi yang dilakukan berturut-turut dalam jangka lama, apalagi jika terjadi pada anak-anak atau sejak anak-anak, dapat mempunyai dampak pada perkembangan kepribadian. Misalnya, wanita yang pada masa kanak-kanaknya mengalami salah perlakuan fisik dan atau seksual, pada masa dewasanya (18-44 tahun) akan menjadi depresif, mempunyai harga diri yang rendah, sering menjadi korban serangan seksual, terlibat dalam penyalahgunaan obat Fox & Gilbert (1994) dalam (Sarwono, 2002). Lebih lanjut Bryant (1995) dalam Sarwono (2002) menyampaikan meskipun tidak mengalami agresifitas dalam jangka lama, pelajar-pelajar di Amerika Serikat yang pernah mengalami pelecehan seksual menderita berbagai gangguan, seperti tidak mau sekolah, tidak mau bicara dikelas, tidak dapat berkonsentrasi dikelas, membolos sekolah, nilai ulanganya jelak, dan nilai rapornya turun.

Sesuai dengan Social Learning Theory dimana teori tersebut pertama kali dikembangkan melaui penelitian yang terkenal dengan istilah “Bobo Doll” dimana dalam penelitian tersebut bertujuan untuk melihat pengaruh atau dampak film/tayangan kekerasan terhadap pembentukan prilaku agresif pada anak-anak setelah menonton. Dimana hasil penelitian memberikan bukti kuat bahwa adegan film yang menunjukan agresi juga mempertinggi reaksi agresif pada diri anak-anak. Anak-anak dari kelompok eksperimen ketika berada dalam ruangan dan melihat adegan kekerasan maka ia langsung melakukan imitasi prilaku dengan melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilihat dalam film tersebut berupa memukul, menedang, menginjak bobo doll tersebut (Bandura, Ross, & Ross, 1963). Selanjutnya, Sarwono (2002) berdasarkan hasil penelitian Bandura, dkk (1963) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari prilaku agresi dipelajari dari model yang dilihat dalam lingkungan keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media masa. Dari sudut pandang ini lingkungan mempunyai peran besar dalam pembentukan prilaku agresif dalam bentuk bullying yang dilakukan oleh murid-murid di sekolah karena mereka meniru, mempelajari berbagai bentuk prilaku kekerasan dari lingungan sekitarnya baik yang diperlihatkan oleh orang tua maupun orang dewasa disekitarnya. Disinilah proses modeling berlangsung dan akan muncul menjadi prilaku baru pada anak yang melihatnya.

Sejalan dengan Bandura (1969, 1977, 1986) dalam (Grusec, 1992) menunjukan empat tahapan yang terlibat dalam proses modeling, masing-masing tahapan memiliki peran penting dalam  memperoleh informasi yang digunakan sebagai pedoman dalam berperilaku, yang pertama adalah Attention, pengamat harus memberikan attention terhadap  peristiwa yang terjadi baik bersifat langsung maupun simbolis yang dimodelkan. Attention ditentukan oleh berbagai variabel, termasuk kekuatan dan daya tarik dari model serta kondisi di mana perilaku dilihat. Televisi, misalnya, adalah media yang menarik untuk menangkap dan mendapatkan  attention. Kedua, ketika objek attention telah hadir maka selanjutnya ia harus dipertahankan, dengan perilaku yang diamati direpresentasikan dalam memori baik melalui suatu imajinasi atau sistem representasi verbal. Langkah ketiga, representasi simbolik sekarang harus diubah menjadi tindakan yang mirip dengan perilaku awal yang diperlihatkan oleh model yang ditiru. Tahapan terakhir yang mengatur jalanya proses belajar observasional melalui modeling adalah melibatkan variabel motivasi dari individu yang mengamati, misalnya harus ada yang menjadi insentif/penguat prilaku yang cukup untuk memotivasi terhadap prilaku yang ditunjukan oleh model. Tahapan tersebut juga terjadi pada anak-anak yang meniru tindakan bullying dari senior mereka, maniru dari tontonan yang dilihat ditelevisi, maupun meniru dari pola-pola kekerasan yang telah diperlihatkan oleh orang tua atau orang dewasa disekitarnya.

Perilaku bullying di sekolah sebagaimana digambaarkan diatas beserta dampak negatif yang ditimbulkanya sangatlah merugikan murid-murid yang menjadi korbanya dan juga murid-murid yang menjadi pelakunya karena prilaku pro-socialnya tidak berkembang. Untuk dapat mengantisipasi meningkatnya prilaku bullying tersebut dapat dilakukan langkah-langkah  penyembuhan dan pencegahan  yang ditemukan pada beberapa hasil penelitian diantaranya melalui: punishment terhadap pelakunya, punishment dapat menjadi  mekanisme kontrol terhadap prilaku agresif yang dapat diterapkan pada level individu maupun level kelompok. (Semin & Fiedler, 1996), yang selanjutnya  pendapat tersebut dipertanyakan oleh para peneliti yang lain karena memiliki keterbatasan karena hanya memiliki pengaruh dalam waktu singkat. Langkah yang beriktunya adalah dengan menggunakan tehnik catharsis sebagaimana yang telah diabsahkan oleh Freud dan Lorenz dimana pengungkapan perasaan-perasaan bermusuhan dapat  dilakukan penghentian terhadap impuls agresif dimana kemungkinan pengurangan terhadap prilaku agresifnya bersifat sementara. Pendekatan yang berlawanan dengan punishment dan catharsis adalah dengan melakukan anger management yang dikembangkan oleh Howells (1989) dimana metode ini hanya dapat bekerja pada individu yang merasakan bahwa tindakan agresifnya akan menimbulkan dampak negatif. (Semin & Fiedler, 1996).

Lebih lanjut banyak penelitian dimana menunjukan bahwa untuk mendukung keberhasilan upaya pencegahan terjadinya bullying di sekolah maka harus memperhatikan komponen-komponen sebagai berikut: 1) Bullying  harus dianggap masalah yang serius oleh semua pihak yang terlibat seperti pengajar/ guru, orang tua, murid, dan seluruh komponen sekolah, 2) Jika bullying terjadi maka orang yang memiliki otoritas (guru, satpam, dll) harus memberikan perhatian dan dengan tegas melawan prilaku tersebut, 3) Siswa yang berpotensi menjadi calon korban harus diberikan cara penanganan langsung terhadap  bullying, mereka harus diberikan pemahaman dan pengetahuan apa yang harus dilakukan dan kepada siapa siapa mereka harus mengadu ketika bullying terjadi, 4) Bantuan dari luar sering berguna dalam mengidentifikasi penyebab bullying dan dalam merancang program untuk mengurangi prilaku bullying tersebut. (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008).

Dengan meningktaknya perhatian penelitian pada masalah tersebut, telah banyak kriteria yang ditemukan untuk menghentikan dan atau mencegah bullying. Beberapa rekomendasi terhadap orang tau dan sekolah sebagai penanggung jawab utama telah diyakinkan dalam masalah ini. Untuk dapat menyelesaikan permasalahan tersebut semua stakeholder  yang berperan harus memberikan kontribusinya, tidak hanya pihak sekolah saja akan tetapi orang tua, staff sekolah yang lain dan juga siswa itu sendiri  harus melakukan peranya dalam pembuatan kebijakan yang menguntungkan (Long & Alexander, 2010). Mengapa memasukan orang tua karena prilaku bullying tersebut dibawa oleh anak-anak dibawah kotrol, prilaku tersebut telah dimulai oleh anak-anak ketika dalam unit keluarga. Fried & Fried (1996) dalam (Long & Alexander, 2010). Oleh karena itu orang tua sangat penting untuk dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan terhadap anak-anak mereka disekolah (Long & Alexander, 2010). Pada prinsipnya yang memegang peranan penting dalam melakukan pencegahan bullying adalah pihak sekolah, pada faktanya, prinsip-prinsip gaya kepemimpinan dan tingkat komitmen digabungkan dengan sikap dan keyakinan guru-guru dan orang tua sangat signifikan untuk mengurangi bullying. Harris & Petrie (2002) dalam (Long & Alexander, 2010).

Jika mendasarkan pada pendekatan social learning theory  pada proses pembentukan prilaku bullying maka dapat diketahui disini bahwa banyak orang-orang yang berperan terhadap pembentukan prilaku tersebut seperti orang tua, guru dan lingkungan sekolah, meskipun demikian penulis mencoba untuk terlebih dahulu memahami kondisi murid-murid itu sendiri dari segi persepsi dan peniliaan terhadap prilaku bullying apakah mereka sepenuhnya memahami dan menyadari bahwa prilakunya tersebut membawa dampak  negatif terhadap temannya. Maka dari itu pembelajaran terhadap materi bullying terhadap anak-anak disekolah perlu dilakukan sejak dini sebagai upaya pencegahannya. Hasil penelitian menyebutkan bahwa anak – anak belum mampu untuk memahami konsep prosocial behavior seperti empati dan konsekuensi dari suatu tindakan akibatnya akan sulit untuk disampaikan oleh guru kepada muridnya pada tingkat dasar karena mereka mungkin sedang dalam tingkatan perkembangan bermacam-macam tindakan yang nyata atau moral yang nyata. 

Berdasarkan  strategi pembelajaran yang digunakan untuk mendemonstrasikan dan untuk meminta murid-murid dengan gaya pembelajaran yang berbeda, aktivitas pembelajaran yang dilakukan disini adalah sebagai jembatan agar murid dapat bertindak secara nyata (contohnya: bullying fisik atau bullying verbal) dari konstruk yang abstrak (contohnya: empati, konsekuensi sosial). Yang perlu ditambahkan adalah startegi yang berperan untuk mengendalikan situasi bullying berada didalam situasi aktivitas tersebut. (Blosnich & Kershner, 2009). Dimana proses pembelajaran prilaku prososial dapat dilaksanakan disekolah dengan menggunakan setting permainan atau kelompok-kelompok kecil yang dikendalikan oleh guru.  Keberhasilan pembelajaran prilaku prososial tersebut juga tidak dapat terlepas dari dukungan oleh stakeholder terkait yang akan mendukung pencapaian pencegahan prilaku bullying dengan baik.

(daftar pustaka ada pada penulis untuk menghindari plagiarisme)
*Tulisan merupakan hasil tugas mata kuliah Penulisan Ilmiah

Makna Plagiarisme


  1. Anda melihat sebuah kutipan di buku dan menyalin kutipan tersebut kata demi kata ke dalam tugas anda namun menyantumkan penulis asli-nya
  2. Anda melihat sebuah kutipan di dalam buku atau situs internet dan menyalin beberapa kata dan menambahkan kata-kata anda sendiri tetapi tidak menyantumkan sumbernya
  3. Anda melihat sesuatu pada situs internet, misanya sebuah artikel dari jurnal terkemuka, dengan penulis yang terkenal. Anda menyalinnya, atau copy paste dari situs internet ke tugas anda, tanpa menyantumkan sumbernya.
  4. Anda melihat cara yang menarik dan berbeda untuk melihat sebuah masalah pada situs internet. Pada situs tersebut tidak dicantumkan nama penulisnya. Anda melakukan cut paste ide tersebut ke tugas anda, tanpa menyantumkan sumbernya. 
  5. Anda menemukan beberapa foto yang menarik atau ilustrasi dari sebuah situs internet. Anda meng-kopi foto atau ilustrasi tersebut dan menempelkannya pada tugas anda. Anda tidak menyantumkan pelukis, fotografer atau situs web tempat anda mengambil gambar tersebut. 
  6. Anda membaca beberapa ringkasan mengenai pendekatan yang berbeda terhadap sebuah subyek pada beberapa situs internet. Anda tidak melakukan cut dan paste tetapi anda menafsirkannya dengan kata-kata anda sendiri dan menggunakannya dalam karya anda. Anda tidak mengikutsertakan sumber situs web di dalam tugas anda. 
  7. Anda merupakan bagian di dalam sebuah kelompok belajar yang terdiri dari 4 atau 5 orang, dan bersama dengan kelompok, anda membahas sebuah tugas yang harus dikumpulkan secara individual. Anda semua setuju akan pendekatan ini dan alasan-alasan yang akan digunakan di dalam tugas. Salah satu teman anda dengan bantuan anggota kelompok lain menulis tugas yang seharusnya dikumpulkan secara individual. 
  8. Anda ingin memberikan ulasan mengenai sesuatu yang telah terjadi di masa lampau, misalnya tren umum angka pengangguran. Anda membaca 3 atau 4 buku mengenai hal tersebut, pembahasan pada semua buku itu serupa sehingga anda hanya meringkas dengan kata-kata anda sendiri tanpa mengutip sumbernya.
  9. Anda melihat hasil statistik di sebuah majalah yang relevan dengan laporan yang sedang anda tulis. Tidak tertulis siapa penulis dari hasil statistik tersebut. Anda menggunakan statistik dalam tugas anda dan tidak memberikan sumbernya, contohnya: majalahnya. 
  10. Anda menemukan sebuah artikel yang meringkas model, teori atau latihan tertentu dari seorang peneliti, Dr. X. Ulasan mengenai teori ini merupakan sumber sekunder, yang artinya penulis meringkas apa yang dikatakan oleh Dr. X. Anda menyukai ringkasan ini, karena pembahasan mengenai hal-hal yang ditulis oleh Dr. X dengan lengkap. Oleh karena itu, anda menyalin ringkasan ini tanpa menyebutkan mengenai penulis artikelnya, walaupun anda menyantumkan nama Dr. X.  
(dari berbagai sumber)