Permasalahan tindak kekerasan di sekolah akhir-akhir ini masih banyak terjadi baik dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Berdasarkan data laporan kasus yang masuk ke Komnas Perlindungan Anak per November 2009 setidaknya terdapat 98 kasus kekerasan fisik, 108 kekerasan seksual dan 176 kekerasan psikis terhadap anak yang terjadi di lingkungan sekolah yang dilakukan oleh sesama murid maupun oleh guru mereka (Sedayu, 2009). Awal bulan April 2010 media memberitakan kasus kekerasan yang terjadi di SMA Negeri 70 Bulungan Jakarta, yaitu kasus yang menimpa salah seorang siswi yang duduk dikelas satu yang mendapatkan perlakuan kekerasan berupa intimidasi, dihardik, ditampar, dicubit dan ditendang perutnya oleh seniornya yang duduk dikelas tiga hanya karena pesoalaan sepele yaitu korban tidak memakai kaos dalam meski korban sudah berusaha menjelaskan kepada seniornya, memang ada peraturan tidak tertulis yang ditetapkan oleh senior saat juniornya menjalani Masa Orientasi Sekolah (MOS) dan barlaku sampai kelas dua, diantaranya rambut tidak boleh di gerai, baju dan rok harus longgar, tas harus ransel dan sepatu harus berjenis kets, dan memakai kaos dalam agar bra yang dipakai tidak kelihatan. Dari kejadian tersebut korban ketakutan untuk datang sekolah dan kasus tersebut akhirnya dilaporkan ke pihak kepolisian.(Amelia, 2010)
Kekerasan fisik dan psikis yang terjadi di lingkungan sekolah baik yang dilakukan oleh guru kepada muridnya atau antara murid dengan murid yang lain yang dikenal dengan istilah bullying. Bullying merupakan permasalahan yang dialami oleh banyak siswa pada semua tingkat pendidikan, dimana prilaku tersebut memberikan dampak negatif terhadap individu yang menjadi objek bullying baik berupa kesehatan dan keamannya, fakta ini didapat dari lingkungan sekolah (Blosnich & Kershner, 2009). Khususnya diantara korban dan pelaku bullying berhubungan dengan indikasi kurangnya penyesuaian psikososial, seperti simptom depresif, dan prilaku bolos sekolah. Dari perspektif pencegahan, program intervensi dan pembelajaran mengenai prilaku menghormati seharusnya di mulai dari ketika murid masih kecil (Blosnich & Kershner, 2009). Sehingga dalam penulisan esai ini, thesis statement-nya adalah bahwa untuk dapat mengurangi dan mencegah prilaku bullying yang terjadi di sekolah dapat dilakukan upaya pembelajaran tentang prosocial behavior yang diperuntukan untuk siswa sejak dini.
Menurut Harris & Petrie (2002) dalam Long & Alexander (2010) mendefiniskan bullying sebagai tindakan bermusuhan, terjadi berulang dilain waktu, merusak dengan bebas dan terjadi tanpa provokasi. Sedangkan menurut Olweus (1994) dalam Semin & Fiedler (1996) orang yang melakukan bullying adalah orang yang mengarahkan dan mengulangi tindakannya yang memberikan dampak negatif bagi satu orang atau terhadap orang-orang yang lain. Banyak definisi yang berbeda tentang bullying, bagaimanapun komponen utamanya adalah perilaku kekerasan sebagai salah satu bentuk perilaku agresi (Long & Alexander, 2010). Agresi adalah prilaku yang diarahkan dengan sengaja yang bertujuan untuk merugikan orang lain (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008).
Selanjutnya menurut Olwes (1994) dalam Semin & Fiedler (1996) menjelaskan menjelaskan tipe atau kerakteristik korban dan pelaku bullying. Karakteristik korban bullying adalah terlihat cemas, menarik diri dari lingkungan sosialnya, mengisolasi diri dari peer groupnya dan secara fisik lebih lemah dari teman-teman yang lainnya. Sedangkan pelaku memiliki karakteristik yang yang berlawanan dengan korban yaitu memiliki fisik yang kuat, dominan dan asertif, menunjukan prilaku agresif tidak hanya kepada korbanya saja akan tetapi juga kepada orang tua, guru dan orang dewasa lainnya. Temuan ini mendukung bahwa bullying adalah bagian dari bentuk umum prilaku anti social yang berasosiasi dengan kemungkinan meningkatnya prilaku orang-orang yang akan menyimpang pada masa remaja dan masa dewasanya. Penyebabnya adalah orang tua yang membiarkan terhadap prilaku agresif yang dilakukan oleh anak-anaknya dan juga menggunakan cara-cara agresif dalam memperlakukan anak-anaknya disini ditemukan berperan krusial dalam menghasilkan bentuk-bentuk prilaku anti sosial pada anak-anak mereka. Kondisi yang seharusnya ada adalah murid-murid memerlukan perasaan yang aman dari rasa takut, ketakutan yang melanda pada anak-anak hanya akan menjadikan rendahnya konsep diri dan mengarah pada penurunan motivasi untuk belajar di sekolah. Di sekolah-sekolah memperlihatkan murid-murid yang menghindari datang ke kelas karena merasa diintimidasi dan hadirnya perasaan takut sebagai korban bullying (Long & Alexander, 2010)
Bullying sebagai salah satu bentuk prilaku agresif pembentukanya dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang antara lain 1) Faktor Biologis yang menerangkan bahwa agresi adalah sesuatu yang alamiah dan diwariskan, tinjauan ini didasarkan pada teori Sigmund Freud yang menyataka pada diri manusia memiliki insting kematian yang bersifat merusak (thanathos), kelemahan teori ini adalah tidak dapat menerangkan agresi dalam cakupan yang luas. 2), Teori Drive yang menerangkan bahwa agresi berasal dari kondisi eksternal yang merangsang individu untuk menyakiti individu lain dengan hipotesisnya frustasi menyebabkan agresi, teori tersebut juga mendapatkan kritik karena agresi tidak hanya disebabkan oleh kondisi dan faktor eksternal saja. 3) Teori Agresi Modern yaitu Perspektif Social Learning Theory dan General Agresion Model yang menjelaskan model pembentukan prilaku agresif lebih komplek (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008).
Dengan memperhatikan proses terbentuknya prilaku agresif diatas maka penulis memiliki kecenderungan bahwa pembentukan prilaku agresif adalah melalui proses belajar sosial (social learning theory) yang diperoleh dari lingkunganya. Inti dari teori ini adalah bahwa prilaku agresi merupakan reaksi terhadap peristiwa atau stimulus yang terjadi pada lingkungan (Sarwono, 2002). Menurut Patterson, Littman & Bricker (1967) dalam Sarwono (2002) Social learning theory memberikan focus perhatiannya pada faktor-faktor pengaruh dari luar dirinya, hasil temuan dalam penelitian menemukan bahwa pada anak-anak kecil yang diperlakukan agresif akan membuahkan hasil berupa peningkatan prilaku agresifitas itu sendiri dimasa besarnya. Agresi yang dilakukan berturut-turut dalam jangka lama, apalagi jika terjadi pada anak-anak atau sejak anak-anak, dapat mempunyai dampak pada perkembangan kepribadian. Misalnya, wanita yang pada masa kanak-kanaknya mengalami salah perlakuan fisik dan atau seksual, pada masa dewasanya (18-44 tahun) akan menjadi depresif, mempunyai harga diri yang rendah, sering menjadi korban serangan seksual, terlibat dalam penyalahgunaan obat Fox & Gilbert (1994) dalam (Sarwono, 2002). Lebih lanjut Bryant (1995) dalam Sarwono (2002) menyampaikan meskipun tidak mengalami agresifitas dalam jangka lama, pelajar-pelajar di Amerika Serikat yang pernah mengalami pelecehan seksual menderita berbagai gangguan, seperti tidak mau sekolah, tidak mau bicara dikelas, tidak dapat berkonsentrasi dikelas, membolos sekolah, nilai ulanganya jelak, dan nilai rapornya turun.
Sesuai dengan Social Learning Theory dimana teori tersebut pertama kali dikembangkan melaui penelitian yang terkenal dengan istilah “Bobo Doll” dimana dalam penelitian tersebut bertujuan untuk melihat pengaruh atau dampak film/tayangan kekerasan terhadap pembentukan prilaku agresif pada anak-anak setelah menonton. Dimana hasil penelitian memberikan bukti kuat bahwa adegan film yang menunjukan agresi juga mempertinggi reaksi agresif pada diri anak-anak. Anak-anak dari kelompok eksperimen ketika berada dalam ruangan dan melihat adegan kekerasan maka ia langsung melakukan imitasi prilaku dengan melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilihat dalam film tersebut berupa memukul, menedang, menginjak bobo doll tersebut (Bandura, Ross, & Ross, 1963). Selanjutnya, Sarwono (2002) berdasarkan hasil penelitian Bandura, dkk (1963) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari prilaku agresi dipelajari dari model yang dilihat dalam lingkungan keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media masa. Dari sudut pandang ini lingkungan mempunyai peran besar dalam pembentukan prilaku agresif dalam bentuk bullying yang dilakukan oleh murid-murid di sekolah karena mereka meniru, mempelajari berbagai bentuk prilaku kekerasan dari lingungan sekitarnya baik yang diperlihatkan oleh orang tua maupun orang dewasa disekitarnya. Disinilah proses modeling berlangsung dan akan muncul menjadi prilaku baru pada anak yang melihatnya.
Sejalan dengan Bandura (1969, 1977, 1986) dalam (Grusec, 1992) menunjukan empat tahapan yang terlibat dalam proses modeling, masing-masing tahapan memiliki peran penting dalam memperoleh informasi yang digunakan sebagai pedoman dalam berperilaku, yang pertama adalah Attention, pengamat harus memberikan attention terhadap peristiwa yang terjadi baik bersifat langsung maupun simbolis yang dimodelkan. Attention ditentukan oleh berbagai variabel, termasuk kekuatan dan daya tarik dari model serta kondisi di mana perilaku dilihat. Televisi, misalnya, adalah media yang menarik untuk menangkap dan mendapatkan attention. Kedua, ketika objek attention telah hadir maka selanjutnya ia harus dipertahankan, dengan perilaku yang diamati direpresentasikan dalam memori baik melalui suatu imajinasi atau sistem representasi verbal. Langkah ketiga, representasi simbolik sekarang harus diubah menjadi tindakan yang mirip dengan perilaku awal yang diperlihatkan oleh model yang ditiru. Tahapan terakhir yang mengatur jalanya proses belajar observasional melalui modeling adalah melibatkan variabel motivasi dari individu yang mengamati, misalnya harus ada yang menjadi insentif/penguat prilaku yang cukup untuk memotivasi terhadap prilaku yang ditunjukan oleh model. Tahapan tersebut juga terjadi pada anak-anak yang meniru tindakan bullying dari senior mereka, maniru dari tontonan yang dilihat ditelevisi, maupun meniru dari pola-pola kekerasan yang telah diperlihatkan oleh orang tua atau orang dewasa disekitarnya.
Perilaku bullying di sekolah sebagaimana digambaarkan diatas beserta dampak negatif yang ditimbulkanya sangatlah merugikan murid-murid yang menjadi korbanya dan juga murid-murid yang menjadi pelakunya karena prilaku pro-socialnya tidak berkembang. Untuk dapat mengantisipasi meningkatnya prilaku bullying tersebut dapat dilakukan langkah-langkah penyembuhan dan pencegahan yang ditemukan pada beberapa hasil penelitian diantaranya melalui: punishment terhadap pelakunya, punishment dapat menjadi mekanisme kontrol terhadap prilaku agresif yang dapat diterapkan pada level individu maupun level kelompok. (Semin & Fiedler, 1996), yang selanjutnya pendapat tersebut dipertanyakan oleh para peneliti yang lain karena memiliki keterbatasan karena hanya memiliki pengaruh dalam waktu singkat. Langkah yang beriktunya adalah dengan menggunakan tehnik catharsis sebagaimana yang telah diabsahkan oleh Freud dan Lorenz dimana pengungkapan perasaan-perasaan bermusuhan dapat dilakukan penghentian terhadap impuls agresif dimana kemungkinan pengurangan terhadap prilaku agresifnya bersifat sementara. Pendekatan yang berlawanan dengan punishment dan catharsis adalah dengan melakukan anger management yang dikembangkan oleh Howells (1989) dimana metode ini hanya dapat bekerja pada individu yang merasakan bahwa tindakan agresifnya akan menimbulkan dampak negatif. (Semin & Fiedler, 1996).
Lebih lanjut banyak penelitian dimana menunjukan bahwa untuk mendukung keberhasilan upaya pencegahan terjadinya bullying di sekolah maka harus memperhatikan komponen-komponen sebagai berikut: 1) Bullying harus dianggap masalah yang serius oleh semua pihak yang terlibat seperti pengajar/ guru, orang tua, murid, dan seluruh komponen sekolah, 2) Jika bullying terjadi maka orang yang memiliki otoritas (guru, satpam, dll) harus memberikan perhatian dan dengan tegas melawan prilaku tersebut, 3) Siswa yang berpotensi menjadi calon korban harus diberikan cara penanganan langsung terhadap bullying, mereka harus diberikan pemahaman dan pengetahuan apa yang harus dilakukan dan kepada siapa siapa mereka harus mengadu ketika bullying terjadi, 4) Bantuan dari luar sering berguna dalam mengidentifikasi penyebab bullying dan dalam merancang program untuk mengurangi prilaku bullying tersebut. (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008).
Dengan meningktaknya perhatian penelitian pada masalah tersebut, telah banyak kriteria yang ditemukan untuk menghentikan dan atau mencegah bullying. Beberapa rekomendasi terhadap orang tau dan sekolah sebagai penanggung jawab utama telah diyakinkan dalam masalah ini. Untuk dapat menyelesaikan permasalahan tersebut semua stakeholder yang berperan harus memberikan kontribusinya, tidak hanya pihak sekolah saja akan tetapi orang tua, staff sekolah yang lain dan juga siswa itu sendiri harus melakukan peranya dalam pembuatan kebijakan yang menguntungkan (Long & Alexander, 2010). Mengapa memasukan orang tua karena prilaku bullying tersebut dibawa oleh anak-anak dibawah kotrol, prilaku tersebut telah dimulai oleh anak-anak ketika dalam unit keluarga. Fried & Fried (1996) dalam (Long & Alexander, 2010). Oleh karena itu orang tua sangat penting untuk dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan terhadap anak-anak mereka disekolah (Long & Alexander, 2010). Pada prinsipnya yang memegang peranan penting dalam melakukan pencegahan bullying adalah pihak sekolah, pada faktanya, prinsip-prinsip gaya kepemimpinan dan tingkat komitmen digabungkan dengan sikap dan keyakinan guru-guru dan orang tua sangat signifikan untuk mengurangi bullying. Harris & Petrie (2002) dalam (Long & Alexander, 2010).
Jika mendasarkan pada pendekatan social learning theory pada proses pembentukan prilaku bullying maka dapat diketahui disini bahwa banyak orang-orang yang berperan terhadap pembentukan prilaku tersebut seperti orang tua, guru dan lingkungan sekolah, meskipun demikian penulis mencoba untuk terlebih dahulu memahami kondisi murid-murid itu sendiri dari segi persepsi dan peniliaan terhadap prilaku bullying apakah mereka sepenuhnya memahami dan menyadari bahwa prilakunya tersebut membawa dampak negatif terhadap temannya. Maka dari itu pembelajaran terhadap materi bullying terhadap anak-anak disekolah perlu dilakukan sejak dini sebagai upaya pencegahannya. Hasil penelitian menyebutkan bahwa anak – anak belum mampu untuk memahami konsep prosocial behavior seperti empati dan konsekuensi dari suatu tindakan akibatnya akan sulit untuk disampaikan oleh guru kepada muridnya pada tingkat dasar karena mereka mungkin sedang dalam tingkatan perkembangan bermacam-macam tindakan yang nyata atau moral yang nyata.
Berdasarkan strategi pembelajaran yang digunakan untuk mendemonstrasikan dan untuk meminta murid-murid dengan gaya pembelajaran yang berbeda, aktivitas pembelajaran yang dilakukan disini adalah sebagai jembatan agar murid dapat bertindak secara nyata (contohnya: bullying fisik atau bullying verbal) dari konstruk yang abstrak (contohnya: empati, konsekuensi sosial). Yang perlu ditambahkan adalah startegi yang berperan untuk mengendalikan situasi bullying berada didalam situasi aktivitas tersebut. (Blosnich & Kershner, 2009). Dimana proses pembelajaran prilaku prososial dapat dilaksanakan disekolah dengan menggunakan setting permainan atau kelompok-kelompok kecil yang dikendalikan oleh guru. Keberhasilan pembelajaran prilaku prososial tersebut juga tidak dapat terlepas dari dukungan oleh stakeholder terkait yang akan mendukung pencapaian pencegahan prilaku bullying dengan baik.
(daftar pustaka ada pada penulis untuk menghindari plagiarisme)
*Tulisan merupakan hasil tugas mata kuliah Penulisan Ilmiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar