Laman

Senin, 16 Maret 2015

Analisa Program Keluarga Harapan (PKH) dengan Pendekatan Perubahan Prilaku

Indonesia meluncurkan PKH dengan harapan mampu memecahkan masalah klasik yang sering dihadapi oleh rumah tangga miskin, seperti masalah gizi buruk, tingginya kematian ibu dan bayi, serta rendahnya partisipasi angka sekolah. PKH juga ditempatkan sebagai embrio pengembangan sistem perlindungan sosial lebih lanjut, dan sebagai salah satu strategi memerangi kemiskinan. Dalam Laporan Akhir Evaluasi Program Perlindungan Sosial: Program Keluarga Harapan 2009 disebutkan bahwa karakterstik utama program CCT adalah mensyaratkan perilaku/tindakan (action) yang harus dilakukan oleh penerima program sebagai suatu kewajiban  dan ada konsekuensi punishment apabila peserta tidak memenuhi prilaku yang diharapkan pemerintah. Perilaku tersebut umumnya terkait dengan upaya investasi sumber daya manusia (SDM), seperti pendidikan, kesehatan, dan perbaikan gizi anak-anak.

Kondisi persyaratan perilaku/tindakan yang harus dilakukan oleh penerima bantuan sebagaimana disebutkan diatas jika merujuk pada pendekatan perubahan sosial maka sesungguhnya pemerintah sedang mengupayakan sebuah perubahan yang direncanakan untuk memangkas lingkaran kemiskinan melalui investasi sumberdaya manusia dalam hal pendidikan dan kesehatan. Perubahan sosial yang direncanakan menurut Ketter, et al (1985; dalam Duffy & Wong, 2000) adalah sebuah rencana perubahan melalui intervensi untuk merubah situasi baik sebagian atau keseluruhan komunitas. Perubahan terencana memiliki ciri-ciri: (a) Target intervensi memiliki cakupan yang jelas, (b) Bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup target komunitas dan, (c) Menyediakan peran yang dibuat untuk berubah.

Jika program PKH dianalisa dengan pendekatan perubahan sosial terencana menurut pendapat Kettler diatas adalah sebagia berikut : (a) Target intervensi memiliki cakupan yang jelas yaitu rumah tangga sangat miskin (RTSM) sebagaimana yang ditentukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), (b)  Bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup target komunitas, dengan mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan  maka diharapkan kualitas hidup RTSM semakin meningkat dimana berdasarakan Laporan Akhir Evaluasi Program Perlindungan Sosial: Program Keluarga Harapan tahun 2009 telah menunjukan adanya perubahan peningkatan kualitas hidup komunitas penerima program  dan, (c) Menyediakan peran untuk berubah, sangat jelas disini bahwa penerima bantuan diwajibkan untuk melakukan tindakan investasi sumberdaya manusia diantaranya sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa penerima bantuan wajib hadir untuk memeriksakan kesehatan kehamilan, pertolonga partus oleh tenaga kesehatan, mengimunisasi balitanya, mendaftarkan anaknya pada sekolah dan memantau kehadiran anak disekolahnya. Dengan keterlibatan peran peserta penerima program ini maka target intervensi akan memiliki tanggung jawab untuk melakukan perubahan.

Selain itu aspek lain yang harus diperhatikan dalam perubahan terencana (planed change) adalah program tersebut harus diputuskan oleh kedua belah pihak yaitu individu dalam komunitas dengan agen pengubah (change agent; dalam hal ini pemerintah sebagai pemilik program) yang dalam istilah psikologi komunitas disebut sebagai konsep participatory decision making atau collaborative problem solving (Chavis et al, 1992; Duffy & Wong, 2000) yang juga akan menguatkan sense of community dan menghindari konflik individu dalam komunitas dengan change agent. Oleh karena itu sebelum program ini di laksanakan peserta penerima program diwajibkan untuk menghadiri pertemuan awal guna mengikuti sosialisasi program, perbaikan data peserta dan penandatanganan perjanjian komitmen (Pedoman Umum: Program Keluarga Harapan, 2007).

Studi pendekatan perubahan prilaku terencana (planed change) disebut juga sebagai sebuah intervensi, dimana intervensi terbagi menjadi intervensi individual dan intervensi lingkungan yang meliputi faktor cultural dan struktural (Levin et al, 2000 dalam Markum 2009). Program Keluarga Harapan (PKH) telah berupaya untuk melakukan intervensi pada tataran Individu dan intervensi pada tataran cultural. Untuk memahami intervensi individu maka terlebih dahulu harus memahami psikologi orang miskin (Markum, 2009). Sebagai acuan untuk memahami orang miskin digunakan gagasan lingkaran kemiskinan (poverty cycle) dari Seligman (1975, Ortigas, 2000 dalam; Markum, 2009) (lihat gambar 1).

Dilihat dari perspektif psikologi, orang miskin adalah ornag yang mengalami kondisi depriviasi (depriviation). Artinya akses orang miskin terhadap berbagai fasilitas layanan umum (kesehatan, air bersih, sanitasi, pendidikan, lembaga keuangan, dan lain-lain) sangat terbatas, bahkan tertutup. Orang miskin juga tidak dapat mengendalikan nasibnya atau hari depanya (uncontrollability) karena, selain merupakan kelompok minoritas, juga posisi tawarnya (bargaining power) lemah. Akibat dari kondisi orang miskin tidak memiliki posisi tawar yang kuat, orang miskin menjadi tidak tahu lagi apa yang harus dilakukanya dan merasa tidak berdaya (helpless). Selanjutnya diikuti oleh sikap mereka yang pasif (passivity), acuh dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya (apathy), dan akhirnya orang miskin akan tetap berada dalam kondisi depriviasi (Markum, 2009).

Atas dasar pemahaman mengenai lingkaran kemiskinan diatas, tentulah terdapat hal-hal yang harus dilakukan untuk merubah mind-set orang miskin (Markum, 2009). Menurut Ortigas (2000 dalam; Markum, 2009) pada prinspinya lingkaran kemiskinan ini harus dihentikan atau tidak boleh terus berputar, yakni dengan cara memutus lingkaran sedini mungkin sebelum terjadi perpindahan ke kondisi lebih lanjut. Pemutusan lingkaran kemiskinan ini dimaksudkan agar orang miskin tidak terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan mereka akan mempunyai keterampilan tertentu (self-afficacy) dan selanjutnya akan tumbuh harga dirinya (self-esteem).

Memperhatikan pendapat Ortigas diatas bahwa untuk melakukan intervensi terhadap penduduk miskin adalah dengan memutus lingkaran kemiskinan agar tidak terus berputar. Porgram Keluarga Harapan berdasarkan pendapat penulis telah didesain sesuai dengan pendapat Ortigas diatas, hal ini dapat dilihat bahwa PKH memudahkan akses penduduk miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan pada saat hamil, melahirkan dan perawatan anak-anak balita mereka, disamping itu juga membuka akses anak-anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan. Akses yang sangat terbatas atau bahkan tertutup yang dimiliki oleh orang miskin karena kondisi depriviasi melalui bantuan tunai bersyarat PKH ini mendapatkan solusi karena orang miskin diberikan bantuan uang tunai dengan konsekuensi melakukan prilaku/tindakan yang disyaratkan. Konsekuensi prilaku yang harus dilakukan oleh warga miskin penerima bantuan PKH juga menurut penulis secara tidak disadari akan mengikis depriviasi yang telah membentuk budaya  kemiskinan yang sering diturunkan dari generasi ke generasi. Secara tidak langsung intervensi cultural juga akan tercapai melalui Program Keluarga Harapan tersebut.

Kesimpulan dan Saran

Pendekatan multidimensi dalam PKH masih dibutuhkan, bukan hanya memberikan bantuan uang tunai semata. Hal ini mengingat PKH melibatkan konsekuensi prilaku yang harus dilakukan oleh peserta penerima program antara lain dalam hal investasi pendidikan dan kesehatan. Impilkasi dari konsekuensi bahwa peserta penerima program untuk berprilaku tertentu maka penyediaan sarana dan prasaran pendidikan dan kesehatan yang memadai menjadi mutlak diperlukan agar tidak menjadi alasan oleh warga miskin untuk mengabaikan prilaku yang di wajibkan tersebut. Penambahan tenaga kesehatan dan tenaga kependidikan sampai ke pelosok-pelosok mutlak diperlukan untuk menunjang keberhasilan program ini.

Selain penyediaan sarana dan prasarana infrasturktur dan sumber daya manusia yang siap dan memadai, pendekatan multidimensi lain yang juga mutlak diperlukan, sebagai contoh kasus di Nikaragua, meskipun ibu-bu menerima tablet suplemen Fe, namun anemia tidak terpanguruh oleh program CCT. Penyebabnya, ibu-ibu tidak memberikan suplemen Fe kepada anaknya karena muncul persepsi supplemen berdampak buruk bagi perut dan gigi. Pada konteks ini diperlukan upaya peningkatan pengetahuan bagi para penerima program. Salah satu cara yang bisa dikembangkan dalam PKH adalah dengan memberikan pengetahuan tambahan bagi para pendamping tentang ‘best practise’ pendidikan dan kesehatan sehingga mereka bisa mendesiminasikan informasi tersebut kepada ibu-ibu peserta program (Laporan Akhir Evaluasi Program Perlindungan Sosial: Program Keluarga Harapan, 2009).

Selanjutnya yang juga penting untuk diperhatikan adalah bahwa setiap perubahan yang direncanakan (planed change) akan berdampak pada perubahan yang tidak direncanakan (unplaned change).Sebagai contohnya di Brazil, program CCT semula dikaitkan dengan sedikit turunnya berat badan, namun fenomena ini akhirnya dibantah. Anekdot, Ibu-ibu memelihara berat badan anak-anaknya pada kondisi rendah karena munculnya persepsi bahwa mereka akan kehilangan banyak keuntungan jika berat badan anaknya tumbuh dengan pesat. Fenomena ini penting terhadap berfungsinya mekanisme yang menjamin kejelasan dan komunikasi yang teratur antara pelaksana program dengan penerima program sehingga persyaratan yang ditetapakan dalam program tidak menimbulkan insentitife yang negatif (Laporan Akhir Evaluasi Program Perlindungan Sosial: Program Keluarga Harapan, 2009). 

Selain itu dalam konteks budaya Indonesia harus di waspadai falsafah yang menyatakan bahwa “dengan banyak anak akan banyak rizki” bisa jadi persepsi ini muncul dari orang miskin karena setiap kehamilan dan anak balita dari keluarga miskin akan mendapatkan bantuan uang tunai untuk akses kesehatan mereka. Lagi-lagi untuk mengantisipasi perubahan yang tidak direncakana tersebut, pendamping kegiatan dituntut untuk melakukan komunikasi yang intensif dengan peserta penerima program.

______________________________________________________________________________

Biodata Penulis:

Gini Toponindro, Alumnus BK FKIP UM Magelang, Telah menyelesaikan S2 di Fakultas Psikologi Peminatan Terapan Psikologi Intervensi Sosial Tahun 2012 pada Universitas Indonesia, Pernah aktif di almamater sebagai Asisten Dosen, Konselor pada Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Jambi, Konselor pada Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jambi serta Kepengurusan Himpunan Psikologi (HIMPSI) Wilayah Jambi. Saat ini bekerja sebagai Penilai Kompetensi Pegawai pada Biro Organisasi & Kepegawaian Kementerian Sosial RI.



Minggu, 15 Maret 2015

Conditional Cash Transfer di Indonesia dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH)

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 sebagaimana di kutip dalam  Djumiati (2005)  memaparkan beberapa strategi untuk mengatasi kemiskinan, yaitu melalui: (a) Mendorong pertumbuhan yang berkualitas (quality growth); strategi ini mengandung pengertian bahwa segenap kebijakan makro ekonomi hasilnya diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin (b) Meningkatkan akses pelayanan dasar bagi keluarga miskin; peningkatan akses pelayanan dasar terutama dalam bentuk peningkatan akses kepada pelayanan pendidikan, kesehatan, dan prasarana dasar. (c) Melaksanakan pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat (community based development) Strategi ini diterapkan dalam berbagai kebijakan yang menggunakan prinsip dasar bahwa orang miskin apabila mempunyai kesempatan untuk mengambil keputusan secara mandiri akan dapat berbuat yang terbaik bagi diri, keluarga, dan masyarakatnya, dan (d) Memperbaiki dan mengembangkan sistem perlindungan sosial; strategi ini diarahkan guna peningkatan perlindungan sosial kepada keluarga miskin.
Pelaksanaan PKH adalah implementasi dari RPJM 2004-2009 poin (b) sebagaimana disebutkan pada paragraph sebelumnya. Untuk selanjutnya PKH sebagaimana di adopsi dari negara-negara asalnya yang di kenal dengan condition cash transfer (CCT) bukan merupakan kelanjutan dari program Bantuan Langsung Tunai (BLT). PKH di Indonesia dirancang untuk membantu penduduk miskin kluster terbawah (Rumah Tangga Sangat Miskin/ RTSM) berupa bantuan bersyarat. Program ini diharapkan berkesinambungan setidaknya sampai tahun 2015 (Pedoman Umum: Program Keluarga Harapan, 2007). Program ini untuk pertama kalinya di uji cobakan tahun 2007 di tujuh provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sumatera Barat) dengan jumlah peserta 380.000 rumah tangga dari target 500.000 rumah tangga. Dan sampai dengan 2009, PKH diperluas di lima provinsi lainya, yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan. Jumlah total PKH mencapai 720.000 rumah tangga yang tersebar di 13 provinsi diatas (Laporan Akhir Evaluasi Program Perlindungan Sosial: Program Keluarga Harapan, 2009).
Target sasaran PKH adalah Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) sesuai dengan kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) dan memenuhi satu atau beberapa kriteria program yaitu: memiliki Ibu hamil/nifas, memiliki anak balita atau anak usia 5-7 tahun yang belum masuk pendidikan SD, memiliki anak usia SD dan SLTP dan memiliki anak 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar. Sedangkan sebagai syaratnya penerima PKH memiliki berbagai kewajiban yang harus dipenuhi berkaitan dengan investasi kesehatan adalah sebagai berikut:

Protokol Pelayanan Kesehatan bagi Peserta PKH

Anak usia 0-6 tahun
§    Anak usia 0-28 hari (neonatus) harus diperiksa kesehatannya sebanyak 3 kali.
§     Anak usia 0–11 bulan harus diimunisasi lengkap (BCG, DPT, Polio, Campak, Hepatitis B) dan ditimbang berat badannya secara rutin setiap bulan.
§     Anak usia 6-11 bulan harus mendapatkan Vitamin A minimal sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun yaitu bulan Februari dan Agustus.
§     Anak usia 12–59 bulan perlu mendapatkan imunisasi tambahan dan ditimbang berat badannya secara rutin setiap 3 (tiga) bulan.
§     Anak usia 5-6 tahun ditimbang berat badannya secara rutin setiap 3 (tiga) bulan untuk dipantau tumbuh kembangnya dan atau mengikuti program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD/Early Childhood Education) apabila di lokasi/posyandu terdekat terdapat fasilitas PAUD.
Ibu hamil dan ibu nifas
§   Selama kehamilan, ibu hamil harus melakukan pemeriksaan kehamilan di fasilitas kesehatan sebanyak 4 (empat) kali yaitu sekali pada usia kehamilan 3 bulan I, sekali pada usia kehamilan 3 bulan II, dua kali pada 3 bulan terakhir, dan mendapatkan suplemen tablet Fe.
§     Ibu melahirkan harus ditolong oleh tenaga kesehatan.
§ Ibu nifas harus melakukan pemeriksaan/diperiksa kesehatannya setidaknya 3 (tiga) kali pada minggu I, IV dan VI setelah melahirkan.
Sumber: Buku KIA, (2006 dalam; Pedoman Umum: Program Keluarga Harapan, 2007).

Berkenaan dengan hal investasi pendidikan maka peserta PKH di syaratkan jika memiliki anak berusia 7-15 tahun, maka Anak peserta PKH tersebut harus didaftarkan/terdaftar pada satuan pendidikan (SD/MI/SDLB/Salafiyah Ula/Paket A atau SMP/MTs/SMLB/ Salafiyah Wustha /Paket B termasuk SMP/MTs terbuka) dan mengikuti kehadiran di kelas minimal 85 persen dari hari sekolah dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung. Apabila ada anak yang berusia 5-6 tahun yang sudah masuk sekolah dasar dan sejenisnya, maka yang bersangkutan dikenakan persyaratan pendidikan.
Jika peserta PKH memiliki anak usia 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar, maka peserta diwajibkan mendaftarkan anak tersebut ke satuan pendidikan yang menyelenggarakan program wajib belajar 9 tahun / pendidikan kesetaraan. Apabila anak yang bersangkutan bekerja/pekerja anak atau telah meninggalkan sekolah dalam waktu yang cukup lama, maka anak tersebut harus mengikuti program remedial untuk mempersiapkannya kembali ke satuan  pendidikan. Dalam rangka pelaksanaan remedial tersebut satuan pendidikan harus menyediakan program remedial. Apabila anak yang bersangkutan dengan usia tersebut di atas masih buta aksara, maka diwajibkan untuk mengikuti pendidikan keaksaraan fungsional di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) terdekat.
Berkaitan dengan besaran bantuan untuk setiap RTSM peserta PKH sesuai dengan Pedoman Umum: Program Keluarga Harapan, 2007 disajikan sebagai berikut:
  
Skenario Bantuan PKH


Skenario Bantuan

Bantuan per RTSM per tahun
Bantuan tetap
Rp.    200.000,-

Bantuan bagi RTSM yang memiliki:
a.    Anak usia dibawah 6 tahun
b.   Ibu hamil/ menyusui

Rp.    800.000,-
c.    Anak peserta pendidikan setara SD/MI
Rp.    400.000,-

d.   Anak peserta pendidikan setara SMP/MTs
Rp.    800.000,-

Rata-rata bantuan per RTSM
Rp. 1.390.000,-

Bantuan minimum per RTSM
Rp.    600.000,-

Bantuan maksimum per RTSM
Rp. 2.200.000,-

Catatan:
§ Bantuan terkait kesehatan berlaku bagi RTSM dengan anak di bawah 6 tahun dan/atau ibu hamil/nifas. Besar bantuan ini tidak dihitung berdasarkan jumlah anak.
§ Besar bantuan adalah 16% rata-rata pendapatan RTSM per tahun.
§ Batas minimum dan maksimum adalah antara 15-25% pendapatan rata-rata RTSM per tahun.

Apabila peserta tidak memenuhi komitmennya dalam tiga bulan, maka besaran bantuan yang diterima akan berkurang dengan rincian sebagai berikut: (a) Apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen dalam satu bulan, maka bantuan akan berkurang sebesar Rp 50,000,- (b) Apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen dalam dua bulan, maka bantuan akan berkurang sebesar Rp 100,000,- (c) Apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen dalam tiga bulan, maka bantuan akan berkurang sebesar Rp 150,000,- (d) Apabila peserta PKH tidak memenuhi komitmen dalam 3 bulan berturut-turut, maka tidak akan menerima bantuan dalam satu periode pembayaran. Ketentuan di atas berlaku secara tanggung renteng untuk seluruh anggota keluarga penerima bantuan PKH (Pedoman Umum: Program Keluarga Harapan, 2007)
Setelah pembahasan mengenai kepesertaan, kewajiban peserta sebagai syarat peserta PKH serta besaran skenario bantuan serta punishment bagi peserta yang tidak dapat menjalankan komitmenya harapan program ini adalah membawa perbaikan kehidupan pada RTSM dan anak-anak mereka. Dengan tercapainya program tersebut maka tidak selamanya penerima bantuan PKH memperoleh bantuan. Untuk itu dalam rancangan PKH disusun exit strategy yang dilakukan melalui resertifikasi. Resertifikasi adalah proses evaluasi status kepesertaan PKH untuk menentukan apakah peserta masih layak atau tidak sebagai penerima bantuan. Dengan demikian tidak menciptakan kondisi ketergantungan RTSM yang telah mengalami perbaikan kehidupan (Pedoman Umum: Program Keluarga Harapan, 2007).
Pembahasan akhir pelaksanaan PKH di Indonesia sebagaimana untuk tahap uji coba yang dilakukan sejak tahun 2007 telah dilakukan evaluasi hasil secara keseluruhan pada tahun 2009. Hasil evaluasi itu menunjukan bahwa estimasi PKH berhasil meningkatkan angka kunjungan Posyandu, pemantauan tumbuh kembang anak, serta kegiatan imunisasi. Secara rinci, hasil estimasi double difference menunjukkan bahwa PKH menaikkan secara rata-rata angka kunjungan bayi usia dibawah satu tahun ke Posyandu sebesar 3 persen poin, pemantuan tumbuh kembang bayi 5 persen poin, dan kegiatan imunisasi 0.3 persen poin. PKH juga mengindikasikan sinyalemen positif pada indikator tujuan kesehatan lainnya. Pada aspek pendidikan, PKH berhasil mendorong anak usia 6-15 tahun untuk tetap hadir di sekolah. Namun, hasil estimasi menunjukkan dampak PKH terhadap pendidikan relatif kecil, yakni kehadiran anak di sekolah secara rata-rata hanya naik sebesar 0.2 persen poin. Studi ini juga menemukan efek domino PKH terhadap ketersediaan guru di daerah intervensi PKH, serta berhasil menaikkan rasio guru dengan murid. Terkait dengan dengan adanya dana bantuan yang diberikan kepada rumahtangga, PKH secara signifikan berhasil menaikkan belanja rumahtangga untuk komponen kesehatan dan pendidikan. Secara rata-rata, PKH meningkatkan belanja perkapita rumahtangga perbulan untuk komponen pendidikan dan kesehatan masing-masing Rp. 2,786,- dan Rp. 4,271,- (Laporan Akhir Evaluasi Program Perlindungan Sosial: Program Keluarga Harapan, 2009)
________________________________________________________________________
BIODATA PENULIS :

Gini Toponindro, Alumnus BK FKIP UM Magelang, Telah menyelesaikan S2 di Fakultas Psikologi Peminatan Terapan Psikologi Intervensi Sosial Tahun 2012 pada Universitas Indonesia, Pernah aktif di almamater sebagai Asisten Dosen, Konselor pada Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Jambi, Konselor pada Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jambi serta Kepengurusan Himpunan Psikologi (HIMPSI) Wilayah Jambi. Saat ini bekerja sebagai Penilai Kompetensi Pegawai pada Biro Organisasi & Kepegawaian Kementerian Sosial RI.

Kamis, 12 Maret 2015

Gambaran Condition Cash Transfer di Amerika Latin

Program conditional cash transfer (CCT) banyak dijumpai di sejumlah Negara Amerika Latin dan Karibia. Untuk pertama kalinya conditional cash transfer bermula di Meksiko dan Brasil pada akhir tahun 1990an dan program di kedua negara ini telah tumbuh menjadi program skala nasional. World Bank dan Inter-American Development Bank dengan serius mendorong  agar program ini di adopsi di negara-negara pada pendapatan rendah dan menengah  (Bassett, 2008 dalam Hoddinott & Bassett 2008).
Program CCT merupakan program dimana keluarga menerima pembayaran secara tunai jika ia memenuhi syarat tertentu. Sebagai contohnya, semua program CCT mensyaratkan agar penerimanya untuk hadir pada pusat layanan kesehatan untuk melakukan perawatan pada kondisi kehamilan, menyusui dan anak balitanya serta pembelajaran nutrisi, dan juga mensyaratkan  penerimanya yang masih dalam usia sekolah untuk terdaftar dan hadir disekolahnya. Yang menjadi fokus desain program ini adalah untuk mendorong perubahan prilaku (behavioral change) masyarakat miskin (Fernald, Gertler, & Neufeld, 2008).
Meksiko sendiri meluncurkan program pengentasan kemiskinan dengan bantuan tunai bersyaratnya yang diberi nama the Programa de Educación  Saludy Alimentación (PROGRESA). Program ini merupakan titik awal CCT pelaksanaan program dalam sekala besar. Brazil memiliki CCT yang diberi nama Programa Nacional de Bolsa Escola dan Programa de Erradicaçao do Trabalho Infantil, (PETI). Kolumbia meluncurkan Pprogram CCT yang diberi nama the Familias en Acción program (FA), Honduras program CCTnya dikenal dengan nama the Programa de Asignación Familiar (PRAF), Jamaica mengintroduksi CCT dengan nama the Program of Advancement through Health and Education (PATH), dan Nikaragua memperkenalkan program CCTnya dengan sebutan the Red de Protección Social (RPS) (Adato & Hoddinott, 2007).
Pelaksanaan CCT di berbagai Negara selalu diikuti pengukuran dampak (impact evaluation). Hasil-hasil evaluasi telah menunjukkan keberhasilan CCT dalam meningkatkan indikator perbaikan sumber daya manusia (SDM). Indikator-indikator ini umumnya sejalan dengan kewajiban yang ditetapkan dalam program CCT, seperti pendidikan dan kesehatan. Program CCT di Meksiko, dikenal dengan PROGRESA, berhasil meningkatkan angka partisipasi sekolah jenjang SMP sebesar 6% pada kelompok pria dan 9% pada kelompok wanita. Meningkatkan angka transisi sekolah dari jenjang SD ke SMP sebesar 15% pada kelompok wanita yang umumnya mereka putus sekolah sebelum masuk SMP. Dari sini terlihat bahwa program CCT juga berusaha memecahkan isu gender. Program CCT berhasil secara signifikan meningkatkan angka partisipasi sekolah anak perempuan, yang secara historis telah mengalami diskriminasi karena pendidikan anak perempuan dianggap tidak sepenting pria. Selain itu Anak-anak dari keluarga penerima PROGRESA memasuki usia sekolah relatif lebih muda dan kejadian tidak naik kelas lebih kecil ketimbang anak-anak dari keluarga non-penerima program. PROGRESA memiliki dampak relatif kecil pada angka kehadiran sekolah, pencapaian nilai standar test serta kemampuan menarik anak-anak dropout untuk masuk ke sekolah (Adato & Hoddinott, 2007).
Evaluasi pada indikator kesehatan menunjukan bahwa program CCT menunjukkan dampak yang signifikan pada kesehatan dan gizi. Angka kunjungan kesehatan meningkat 18 persen di lokasi-lokasi PROGRESA di Meksiko. Angka kesakitan anak usia 0–5 tahun peserta PROGRESA turun 12%. Dampak CCT ditemukan juga pada aktifitas pemantauan tumbuh kembang anak di Kolombia, Honduras, Meksiko dan Nikaragua. Beberapa program CCT juga berusaha ditargetkan untuk mengeliminasi kekurangan zat bergizi. Di Meksiko, penerima program memiliki kejadian anemia lebih kecil ketimbang bukan penerima program, meskipun angkanya masih tetap tinggi. Di Nikaragua, meskipun ibu-bu melaporkan bahwa mereka menerima tablet Fe, namun anemia tidak terbukti terpanguruh oleh program. Penyebabnya, mereka tidak memberikan suplemen ini kapada anak-anaknnya dengan kepercayaan bahwa suplemen akan berdampak buruk bagi perut dan gigi. Fenomena ini merupakan tantangan besar dalam memecahkan permasalahan kekurangan zat gizi, dimana pendekatan multidimensi lebih dibutuhkan, ketimbang bantuan tunai atau pemberian supplemen itu sendiri (Adato & Hoddinott, 2007).
Program CCT semakin marak diadopsi diberbagai Negara. Tidak kurang dari 20 negara Amerika Latin, Karibia, Asia dan Afrika telah mengadopsi CCT dan sekitar 20 negara lainnya, termasuk Indonesia, telah memulai program ini. Terdapat sejumlah alasan yang melatarbelakangi maraknya program CCT, diantaranya adalah: (a) terbuktinya keberhasilan CCT; (b) meningkatnya kinerja targeting, (c) program relatif flexibel, (d) adanya alasan politis, (e) dapat dikembangkan serta (f) meningkatnya kinerja monitoring dan evaluasi (Laporan Akhir Evaluasi Program Perlindungan Sosial: Program Keluarga Harapan, 2009). Bagaimana rancang bangun program conditional cash transfer di Indonesia dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH) akan di uraikan selanjutya.

_______________________________________________________________________
BIODATA PENULIS :

Gini Toponindro, Alumnus BK FKIP UM Magelang, Telah menyelesaikan S2 di Fakultas Psikologi Peminatan Terapan Psikologi Intervensi Sosial Tahun 2012 pada Universitas Indonesia, Pernah aktif di almamater sebagai Asisten Dosen, Konselor pada Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Jambi, Konselor pada Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jambi serta Kepengurusan Himpunan Psikologi (HIMPSI) Wilayah Jambi. Saat ini bekerja sebagai Penilai Kompetensi Pegawai pada Biro Organisasi & Kepegawaian Kementerian Sosial RI.  

Gambaran Penduduk Miskin (sebuah ironi capaian MDGs 2015 bagi Indonesia)

Secara harfiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta benda”. Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai kondisi ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain (Poerwadarminta, 1976). Sementara dari sudut pandang tentang pengertian kemiskinan pada dasarnya dapat dikelompokan ke dalam tiga bentuk, yakni kemiskinan structural, kemiskinan relative dan kemiskinan absolute. Dari ketiga sudut pandang tersebut penulis membatasi dan lebih menekankan pada kemiskinan absolute karena pemahaman dari bantuk kemiskinan ini relatif lebih tepat untuk menggambarkan kondisi fakir miskin.
Menurut Ginanjar (1997) menjelaskan kemiskinan absloute adalah kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan keluarga untuk membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan martabat hidup sesuai martabat kemanusiaan. Sementara Nasikun (1995) memberikan pemahaman kemiskinan secara lebih lengkap yaitu sebagai sebuah fenomena multifaset, multidimensional dan terpadu. Artinya hidup miskin bukan hanya berarti hidup dalam kondisi kekurangan sandang, pangan dan papan. Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar antara lain: informasi, ilmu pengetahuan (pendidikan), kesehatan, teknologi, dan modal (capital). Lebih dari itu hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienation, akses yang rendah terhadap kekuasaan dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup sangat sempit dan pengap.
Pengertian diatas sejalan dengan hasil dari World Summit for Social Develpoment di Copenhagen (1995) yang menyepakati bahwa kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan, kelaparan dan kekurangan gizi, rendahnya tingkat  kesehatan, keterbatasan dan  kurangnya akses pada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya, kondisi   tak wajar  dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat, kehidupan menggelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan yang tidak aman, serta diskiriminasi dan keterasingann sosial. Kemiskian juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya.
Selain memiliki ciri-ciri dan wujud yang majemuk dari penduduk miskin, sebaliknya dengan kondisi miskin diperkotaan dapat  menyebabakan beberapa akibat atau dampak negatif. Uraian mengenai dampak kemiskinan terhadap aspek kehidupan lain ini menggunakan rujukan pendapat Farley (1987) yaitu sebagai berikut; Pertama, kemiskinan berakibat pada partisipasi dan kualitas orang miskin, artinya akses anak-anak miskin terhadap lembaga pendidikan yang bermutu sangat terbatas disamping kemungkinan putus sekolah (drop out) juga besar. Kondisi anak-anak miskin memiliki prestasi yang rendah dibanding dengan anak-anak yang beruntung, kondisi ini akan berdampak dikemudian hari setelah anak-anak miskin dengan pendidikan rendah memasuki dunia kerja. Mereka akan menduduki posisi jabatan rendah atau menjadi tenaga kerja tidak terampil atau bahkan menjadi penganggur (jobless). Selanjutnya jika mereka berkeluarga, maka pendidikan anak-anaknya juga relatif sama dengan taraf kualitas pendidikan yang dialami orang tuanya. Demikianlan siklus pendidikan seperti ini berlangsung dari generasi ke generasi dengan akibat pewarisan kemiskinan antar generasi.
Kedua, Kemiskinan juga berakibat pada perumahan. Menurut Farley, dibandingkan dengan warga negara Amerika Serikat umumnya, orang-orang miskin diperkotaan menempati rumah yang kurang layak huni dalam ukuran Amerika Serikat. Pada musim dingin tidak menggunakan pemanas ruangan (heater) dan pada musim panas tidak menggunakan penyejuk ruangan (air-conditioner) karena mereka tidka mampu membayar tagihan listrik. Akibatnya rumah yang tidak mendukung kesehatan fisik ini adalah rendahnya tingkat kesehatan orang-orang miskin. Tingkat kesehatan dalam rumah juga dipengaruhi oleh banyaknya penghuni dalam rumah (overcrowded) yang disebabkan oleh dua atau tiga keluarga tinggal dalam satu rumah.
Ketiga, masalah lain yang berkenaan dengan perumahan adalah orang miskin yang tidak memiliki tempat tinggal (homeless). Mereka tinggal di taman kota, pinggir jalan, tenda atau tempat-tempat yang disediakan oleh lembaga sosial dan gereja. Penyebab gejala homeless ini adalah pengangguran, tidak memiliki keluarga yang bisa atau mau menampung dan merawat mereka dan dikeluarkanya pasien penyakit jiwa dari rumah sakit jiwa.
Keeampat, kemiskinan juga berakibat terhadap kriminalitas. Disatu pihak, penduduk miskin dapat manjadi korban kejahatan, seperti dirampok dan diperas, karena mereka tidak memiliki akses terhadap perlindungan wilayah yang mereka huni. Dipihak lain, orang miskin juga dapat menjadi pelaku kejahatan yang secara umum disebabkan oleh terbatasnya pendapatan mereka. Kejahatan yang dilakukan oleh orang msikin lebih mudah terungkap karena jenis, tindakan, maupun lokasi kejahatanya berlangsung ditempat-tempat umum seperti perampokan di toko, peredaran narkoba di jalan umum, dan pekerja seks yang menawarkan diri di jalan umum. Disamping itu peradilan tindak kejahatan seperti perampokan, penjambretan dan pencurian berlangsung lebih cepat (karena pembuktinnya mudah) dibanding dengan kejahatan kerah-putih seperti korupsi.
Kelima, adalah akibat kemiskinan terhadap kondisi mental. Dengan merujuk pada beberapa penelitian, terbukti bahwa orang-orang berpenghasilan rendah atau orang miskin merasa kurang bahagia (less happiness) dan bahkan mengalami gangguan mental serius seperti depresi, skizofrenia dan gangguan kepribadian (Donrenwend, 1971; Warneit, Holzer, & Schwab, 1973, Farely, 1987, dalam Markum, 2009). Penelitian lain juga menunjukan rendahnya derajat kebahagiaan orang miskin Amerika Serikat (Campbell, Converse, & Rogers, 1976, Farely, 1987, dalam Markum 2009). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat kaitan yang erat antara kemiskinan dengan gangguan mental (Markum, 2009).
Mencermati kondisi penduduk miskin, kompleksitas permasalahanya dan dampak timbal baliknya yang seakan telah membentuk semacam lingkaran kemiskinan yang tiada pernah putus, tugas pemerintah memiliki tantangan yang besar dalam mengurai benang kusut kemiskinan. Terlebih dengan komitmen pengentasan kemiskinan yang harus di capai pada tahun 2015 sesuai Millenium Development Golas (MDGs) yang masih tersisa beberapa tahun kedepan. Akan tetapi optimisme seharusnya dimiliki manakala pemerintah telah menyusun strategi yang tepat untuk memangkas lingkaran kemiskinan tersebut. Pendekatan yang menurut penulis dapat memangkas lingkaran kemiskinan adalah dengan membuka akses penduduk miskin untuk mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan sebagai manifestasi investasi sumber daya manusia dimasa depan. Sebagai bentuk implementasi investasi sumber daya manusia tersebut telah tertuang dalam program pengentasan kemiskinan yag telah di lakukan oleh beberapa negara di Amerika Latin dan Karibia yang dikenal dengan nama condition cash transfer (bantuan tunai bersyarat) sebagai alternatif pengentasan kemiskinan di Indonesia bukan solusi "instant" dengan membagikan uang tunai meskipun diganti wujud menjadi "kartu" yang pada periode tertentu dapat dicairkan menjadi uang yang hanya dapat digunakan untuk beberap hari saja. Namun program dan perencanaan jangka panjang yang matang sangat-sangat dibutuhkan dalam pengentasan kemiskinan tersebut.

Gini Toponindro
Alumni Magister Psikologi Intervensi Sosial - UI

Minggu, 08 Maret 2015

REFORMASI PENGELOLAAN SDM APARATUR, PRASYARAT TATA KELOLA BIROKRASI YANG BAIK

Abstract:

The success of the bureaucratic reform could be achieved if the basic foundation, namely human resource of apparatuses have been able to managed with optimal and sustainable. In order for apparatus management reforms can be realized, can be used 2 (two) approaches; using external approach, encompassing policy approaches and systems; and internal approach, encompassing approach to cultural development and the inculcation values of organization. These approaches need to be understood and become a main point in setting the policy direction of apparatus management that is more productive, efficient, and effective. 

Keywords : Bureaucratic Reform, Apparatus Management

1. Latar Belakang

Sedikitnya terdapat 3 (tiga) hal utama dalam melakukan pengelolaan atau penyelenggaraan pemerintahan/ birokrasi yang efektif dan efisien yaitu melakukan suatu langkah, upaya, ataukah perlakuan yang optimal dan merujuk kepada prinsipprinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) terhadap kelembagaan
(organisasi), ketatalaksanaan (business process), dan yang paling utama adalah sumberdaya manusia aparatur. Oleh karenanya, program reformasi birokrasi yang saat ini tengah gencar dilakukan, harus melibatkan atau mendasarkan prosesnya pada ketiga komponen utama tersebut diatas disamping faktor-faktor pendukung lainnya. 

Penyelenggaraan pemerintahan jelas akan banyak berbicara mengenai birokrasi, dan birokrasi yang didefinisikan sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah berdasarkan hierarki dan jenjang jabatan, secara jelas menggarisbawahi peran utama dari pelaku atau aktor penyelenggaranya yakni aparatur pemerintah. Dengan demikian, pondasi dasar reformasi birokrasi seutuhnya harus dimulai dari reformasi terhadap pengelolaan/ manajemen SDM aparaturnya. Reformasi pengelolaan SDM Aparatur ini merupakan kebutuhan mendesak untuk dijalankan agar diperoleh aparatur yang berintegritas, kompeten, professional, berkinerja tinggi, dan sejahtera dalam menyokong pencapaian pengelolaan birokrasi yang baik.