Indonesia meluncurkan PKH dengan harapan mampu memecahkan masalah klasik yang sering dihadapi oleh rumah tangga miskin, seperti masalah gizi buruk, tingginya kematian ibu dan bayi, serta rendahnya partisipasi angka sekolah. PKH juga ditempatkan sebagai embrio pengembangan sistem perlindungan sosial lebih lanjut, dan sebagai salah satu strategi memerangi kemiskinan. Dalam Laporan Akhir Evaluasi Program Perlindungan Sosial: Program Keluarga Harapan 2009 disebutkan bahwa karakterstik utama program CCT adalah mensyaratkan perilaku/tindakan (action) yang harus dilakukan oleh penerima program sebagai suatu kewajiban dan ada konsekuensi punishment apabila peserta tidak memenuhi prilaku yang diharapkan pemerintah. Perilaku tersebut umumnya terkait dengan upaya investasi sumber daya manusia (SDM), seperti pendidikan, kesehatan, dan perbaikan gizi anak-anak.
Kondisi persyaratan perilaku/tindakan yang harus dilakukan oleh penerima bantuan sebagaimana disebutkan diatas jika merujuk pada pendekatan perubahan sosial maka sesungguhnya pemerintah sedang mengupayakan sebuah perubahan yang direncanakan untuk memangkas lingkaran kemiskinan melalui investasi sumberdaya manusia dalam hal pendidikan dan kesehatan. Perubahan sosial yang direncanakan menurut Ketter, et al (1985; dalam Duffy & Wong, 2000) adalah sebuah rencana perubahan melalui intervensi untuk merubah situasi baik sebagian atau keseluruhan komunitas. Perubahan terencana memiliki ciri-ciri: (a) Target intervensi memiliki cakupan yang jelas, (b) Bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup target komunitas dan, (c) Menyediakan peran yang dibuat untuk berubah.
Jika program PKH dianalisa dengan pendekatan perubahan sosial terencana menurut pendapat Kettler diatas adalah sebagia berikut : (a) Target intervensi memiliki cakupan yang jelas yaitu rumah tangga sangat miskin (RTSM) sebagaimana yang ditentukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), (b) Bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup target komunitas, dengan mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan maka diharapkan kualitas hidup RTSM semakin meningkat dimana berdasarakan Laporan Akhir Evaluasi Program Perlindungan Sosial: Program Keluarga Harapan tahun 2009 telah menunjukan adanya perubahan peningkatan kualitas hidup komunitas penerima program dan, (c) Menyediakan peran untuk berubah, sangat jelas disini bahwa penerima bantuan diwajibkan untuk melakukan tindakan investasi sumberdaya manusia diantaranya sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa penerima bantuan wajib hadir untuk memeriksakan kesehatan kehamilan, pertolonga partus oleh tenaga kesehatan, mengimunisasi balitanya, mendaftarkan anaknya pada sekolah dan memantau kehadiran anak disekolahnya. Dengan keterlibatan peran peserta penerima program ini maka target intervensi akan memiliki tanggung jawab untuk melakukan perubahan.
Selain itu aspek lain yang harus diperhatikan dalam perubahan terencana (planed change) adalah program tersebut harus diputuskan oleh kedua belah pihak yaitu individu dalam komunitas dengan agen pengubah (change agent; dalam hal ini pemerintah sebagai pemilik program) yang dalam istilah psikologi komunitas disebut sebagai konsep participatory decision making atau collaborative problem solving (Chavis et al, 1992; Duffy & Wong, 2000) yang juga akan menguatkan sense of community dan menghindari konflik individu dalam komunitas dengan change agent. Oleh karena itu sebelum program ini di laksanakan peserta penerima program diwajibkan untuk menghadiri pertemuan awal guna mengikuti sosialisasi program, perbaikan data peserta dan penandatanganan perjanjian komitmen (Pedoman Umum: Program Keluarga Harapan, 2007).
Studi pendekatan perubahan prilaku terencana (planed change) disebut juga sebagai sebuah intervensi, dimana intervensi terbagi menjadi intervensi individual dan intervensi lingkungan yang meliputi faktor cultural dan struktural (Levin et al, 2000 dalam Markum 2009). Program Keluarga Harapan (PKH) telah berupaya untuk melakukan intervensi pada tataran Individu dan intervensi pada tataran cultural. Untuk memahami intervensi individu maka terlebih dahulu harus memahami psikologi orang miskin (Markum, 2009). Sebagai acuan untuk memahami orang miskin digunakan gagasan lingkaran kemiskinan (poverty cycle) dari Seligman (1975, Ortigas, 2000 dalam; Markum, 2009) (lihat gambar 1).
Dilihat dari perspektif psikologi, orang miskin adalah ornag yang mengalami kondisi depriviasi (depriviation). Artinya akses orang miskin terhadap berbagai fasilitas layanan umum (kesehatan, air bersih, sanitasi, pendidikan, lembaga keuangan, dan lain-lain) sangat terbatas, bahkan tertutup. Orang miskin juga tidak dapat mengendalikan nasibnya atau hari depanya (uncontrollability) karena, selain merupakan kelompok minoritas, juga posisi tawarnya (bargaining power) lemah. Akibat dari kondisi orang miskin tidak memiliki posisi tawar yang kuat, orang miskin menjadi tidak tahu lagi apa yang harus dilakukanya dan merasa tidak berdaya (helpless). Selanjutnya diikuti oleh sikap mereka yang pasif (passivity), acuh dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya (apathy), dan akhirnya orang miskin akan tetap berada dalam kondisi depriviasi (Markum, 2009).
Atas dasar pemahaman mengenai lingkaran kemiskinan diatas, tentulah terdapat hal-hal yang harus dilakukan untuk merubah mind-set orang miskin (Markum, 2009). Menurut Ortigas (2000 dalam; Markum, 2009) pada prinspinya lingkaran kemiskinan ini harus dihentikan atau tidak boleh terus berputar, yakni dengan cara memutus lingkaran sedini mungkin sebelum terjadi perpindahan ke kondisi lebih lanjut. Pemutusan lingkaran kemiskinan ini dimaksudkan agar orang miskin tidak terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan mereka akan mempunyai keterampilan tertentu (self-afficacy) dan selanjutnya akan tumbuh harga dirinya (self-esteem).
Memperhatikan pendapat Ortigas diatas bahwa untuk melakukan intervensi terhadap penduduk miskin adalah dengan memutus lingkaran kemiskinan agar tidak terus berputar. Porgram Keluarga Harapan berdasarkan pendapat penulis telah didesain sesuai dengan pendapat Ortigas diatas, hal ini dapat dilihat bahwa PKH memudahkan akses penduduk miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan pada saat hamil, melahirkan dan perawatan anak-anak balita mereka, disamping itu juga membuka akses anak-anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan. Akses yang sangat terbatas atau bahkan tertutup yang dimiliki oleh orang miskin karena kondisi depriviasi melalui bantuan tunai bersyarat PKH ini mendapatkan solusi karena orang miskin diberikan bantuan uang tunai dengan konsekuensi melakukan prilaku/tindakan yang disyaratkan. Konsekuensi prilaku yang harus dilakukan oleh warga miskin penerima bantuan PKH juga menurut penulis secara tidak disadari akan mengikis depriviasi yang telah membentuk budaya kemiskinan yang sering diturunkan dari generasi ke generasi. Secara tidak langsung intervensi cultural juga akan tercapai melalui Program Keluarga Harapan tersebut.
Kesimpulan dan Saran
Pendekatan multidimensi dalam PKH masih dibutuhkan, bukan hanya memberikan bantuan uang tunai semata. Hal ini mengingat PKH melibatkan konsekuensi prilaku yang harus dilakukan oleh peserta penerima program antara lain dalam hal investasi pendidikan dan kesehatan. Impilkasi dari konsekuensi bahwa peserta penerima program untuk berprilaku tertentu maka penyediaan sarana dan prasaran pendidikan dan kesehatan yang memadai menjadi mutlak diperlukan agar tidak menjadi alasan oleh warga miskin untuk mengabaikan prilaku yang di wajibkan tersebut. Penambahan tenaga kesehatan dan tenaga kependidikan sampai ke pelosok-pelosok mutlak diperlukan untuk menunjang keberhasilan program ini.
Selain penyediaan sarana dan prasarana infrasturktur dan sumber daya manusia yang siap dan memadai, pendekatan multidimensi lain yang juga mutlak diperlukan, sebagai contoh kasus di Nikaragua, meskipun ibu-bu menerima tablet suplemen Fe, namun anemia tidak terpanguruh oleh program CCT. Penyebabnya, ibu-ibu tidak memberikan suplemen Fe kepada anaknya karena muncul persepsi supplemen berdampak buruk bagi perut dan gigi. Pada konteks ini diperlukan upaya peningkatan pengetahuan bagi para penerima program. Salah satu cara yang bisa dikembangkan dalam PKH adalah dengan memberikan pengetahuan tambahan bagi para pendamping tentang ‘best practise’ pendidikan dan kesehatan sehingga mereka bisa mendesiminasikan informasi tersebut kepada ibu-ibu peserta program (Laporan Akhir Evaluasi Program Perlindungan Sosial: Program Keluarga Harapan, 2009).
Selanjutnya yang juga penting untuk diperhatikan adalah bahwa setiap perubahan yang direncanakan (planed change) akan berdampak pada perubahan yang tidak direncanakan (unplaned change).Sebagai contohnya di Brazil, program CCT semula dikaitkan dengan sedikit turunnya berat badan, namun fenomena ini akhirnya dibantah. Anekdot, Ibu-ibu memelihara berat badan anak-anaknya pada kondisi rendah karena munculnya persepsi bahwa mereka akan kehilangan banyak keuntungan jika berat badan anaknya tumbuh dengan pesat. Fenomena ini penting terhadap berfungsinya mekanisme yang menjamin kejelasan dan komunikasi yang teratur antara pelaksana program dengan penerima program sehingga persyaratan yang ditetapakan dalam program tidak menimbulkan insentitife yang negatif (Laporan Akhir Evaluasi Program Perlindungan Sosial: Program Keluarga Harapan, 2009).
Selain itu dalam konteks budaya Indonesia harus di waspadai falsafah yang menyatakan bahwa “dengan banyak anak akan banyak rizki” bisa jadi persepsi ini muncul dari orang miskin karena setiap kehamilan dan anak balita dari keluarga miskin akan mendapatkan bantuan uang tunai untuk akses kesehatan mereka. Lagi-lagi untuk mengantisipasi perubahan yang tidak direncakana tersebut, pendamping kegiatan dituntut untuk melakukan komunikasi yang intensif dengan peserta penerima program.
______________________________________________________________________________
Biodata Penulis:
Gini Toponindro, Alumnus BK FKIP UM Magelang, Telah menyelesaikan S2 di Fakultas Psikologi Peminatan Terapan Psikologi Intervensi Sosial Tahun 2012 pada Universitas Indonesia, Pernah aktif di almamater sebagai Asisten Dosen, Konselor pada Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Jambi, Konselor pada Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jambi serta Kepengurusan Himpunan Psikologi (HIMPSI) Wilayah Jambi. Saat ini bekerja sebagai Penilai Kompetensi Pegawai pada Biro Organisasi & Kepegawaian Kementerian Sosial RI.